PT Pelita Air Service (PAS) menegaskan siap untuk melebarkan sayapnya kedalam bisnis dan memperluas layanan ke area komersial (reguler) yang direncanakan dengan memperkenalkan dua pesawat yang bernama Airbus A320.
Bahkan, masuknya anak usaha Pertamina ini dalam penerbangan berjadwal bisa menandingi dominasi dari dua maskapai yang paling besar di Indonesia saat ini, Lion Air juga Garuda Indonesia.
Pelita air sendiri diproyeksikan menjadi pengganti maskapai milik negara Garuda yang sedang mengalami kemunduran secara ekonomi.
Muhammad S. Fauzani, Direktur dari PT Pelita Air Service dan President Acting Daily Tasks (PTH), berkata bahwa kedatangan Airbus A320 menjadi salah satu momen bersejarah dan tonggak baru untuk perusahaan yang sebelumnya bergerak dalam bidang jasa penerbangan charter.
“Dengan hadirnya kedua pesawat ini sudah menandakan bahwa Pelita Air siap mengembangkan jasa penerbangannya menjadi layanan penerbangan niaga berjadwal,” kata Antara, Rabu (13 April 2022). Menurut Fauzani, Pelita Air saat ini mengakreditasi 320 pesawat Airbus dan sudah memulai penerbangan reguler.
Ia memiliki harapan untuk pesawat tersebut bisa beroperasi dalam jangka waktu yang dekat. Disisi lain, kami mengapresiasi kerjasama yang sangat baik dan dukungan koordinasi dari badan pengatur, pengelola bandara, pengendali lalu lintas udara, pramugari, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya yang sudah membantu kelancaran dalam proses kedatangan pesawat yang tepat waktu. “Pelita Air juga mengucapkan terima kasih kepada manajemen perusahaan induk yaitu, Pertamina, yang telah membantu Perita Air mengembangkan bisnisnya ke penerbangan berjadwal,” ujarnya.
Kemunduran Garuda
Seperti diberitakan sebelum kemunduran Garuda, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kini di ambang kebangkrutan dan berpegang teguh pada ungkapan “jangan ragu mati, tak mau hidup.” Nasib maskapai milik negara ini sangat bergantung pada keseimbangan.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan penurunan Garuda sekarang ini disebabkan oleh kegagalan manajemen dan manajemen di masa lalu. Sebelumnya, terlalu mudah bagi perusahaan untuk mengatur penyewaan pesawat dengan banyak pemberi pinjaman.
Keuangan emiten yang berkode GIAA ini diketahui berdarah-darah. Garuda masih terjerat utang sampai Rp 70 triliun. Tak perlu dikatakan, perusahaan terus mendapatkan kerugian. Masalah lain adalah bahwa pengangkut bendera ini menghadapi tuntutan hukum dari kreditur dan dapat menyebabkan kebangkrutan.
Tak ayal, usaha penerbangan masih diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19, sehingga menjadikan Garuda Indonesia kesulitan mempertahankan posisi keuangannya. Kementerian Badan Usaha Milik Negara sendiri dengan terbuka menyatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan maskapai cadangan jika Garuda Indonesia tidak dapat diselamatkan atau harus ditutup.
Pada Oktober tahun lalu, Wakil Menteri BUMN II Cartico Wirjo Atmojo mengatakan, “Kalau macet, kami tutup (Garuda). Hutangnya terlalu tinggi untuk menawarkan penyertaan BUMN.” Menurut Tycho, progres penawaran dan restrukturisasi pinjaman Garuda Indonesia akan mengikuti tuntutannya pada seluruh lender, aircraft lender, dan pemegang sukuk global, termasuk tiga penasehat yang dijadikan Kementerian BUMN.
Namun, penawaran dengan kreditur dan tuan tanah masih sulit dan memakan waktu lama. Salah satunya karena pesawat yang dipakai oleh Garuda Indonesia dimiliki oleh puluhan lender.
Tycho juga menilai, walaupun saat ini memiliki status sebagai maskapai flag carrier, opsi menutup Garuda Indonesia tetap terbuka. Pasalnya, saat ini banyak negara yang tidak mempunyai maskapai penerbangan yang menawarkan penerbangan internasional.
Ia juga berpendapat bahwa Garuda Indonesia dapat diselamatkan, namun hampir tidak mungkin bagi Garuda Indonesia untuk mengoperasikan penerbangan jarak jauh seperti Eropa. Oleh sebab itu, maskapai asing bekerja sama dengan maskapai domestik untuk menyediakan penerbangan internasional.
Tanggapan Pertamina
Disisi lain, Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communications PT Pertamina (Persero), mengatakan Pertamina sebagai pemegang saham dan berbagai bisnis Pertamina mengembangkan layanan penerbangan lewat layanan regular service, mendorong peningkatan kinerja melalui langkah-langkah. Perusahaan mendukung koneksi antar wilayah di NKRI.
“Pertamina mendukung perilaku korporasi Pelita Air Services untuk terus tumbuh pada kinerja terbaiknya,” ujar Fajriya. Ia berharap, babak baru Perita Air ini bisa memberikan kontribusi yang signifikan bagi industri penerbangan Indonesia dan membawa warna baru bagi kehidupan penerbangan Indonesia. Untuk acuan, kehadiran dari kedua pesawat tersebut akan memperkenalkan pewarnaan baru yang dilakukan di Bandara Soekarno Hatta.
Pewarnaan baru yang muncul pada pesawat terbang berasal dari Bandara Montpellier Prancis (MPL) juga Bandara Internasional Sharjah (SHJ) di Uni Emirat Arab disebut pewarnaan “pita”. Dinamakan “pita” karena mirip dengan pita yang menutupi buritan dan bagian lambung dengan tiga warna: merah, biru, dan hijau. Hal ini dapat diartikan sebagai keragaman dan kebebasan dalam berekspresi. Ketiga warna pewarnaan tersebut juga menjadi warna identitas dari Pertamina sebagai induk perusahaan Pelita Air.